Wacana
tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji
dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam
sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk
dibahas.
Di
satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah
wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang
kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan
ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep
kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia
melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini
korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.
Konsep manusia dalam al-Qur’an
Sedikit
disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah
karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa,
dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar
perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke
bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak,<!–[if !supportFootnotes]–>[1]<!–[endif]–>menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.<!–[if !supportFootnotes]–>[2]<!–[endif]–>
Tugas
yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang
akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala
sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu
dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian
ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang
sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan
Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…”
(al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada
malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu
menjaga dunia.
Dari
uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna
yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan
Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian
kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka
merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini
menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah
yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.<!–[if !supportFootnotes]–>[3]<!–[endif]–>
Menjadi
menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada
model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka
para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum
menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat
kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu,
kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan
manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika
demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang
selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan
dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia
memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal
Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan
kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah………….” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini
dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi
hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya,
manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu
terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak
didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan
terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. <!–[if !supportFootnotes]–>[4]<!–[endif]–>
Satu
hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan
potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini.
Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang
melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya)
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….”
(al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani
hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka.
Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu
karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini
Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya
hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah
pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun,
lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.
Unsur-unsur dalam diri manusia
Membahas
sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana
sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu.
Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit
menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur
mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam
firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya
dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi)
kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan
Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap
dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral,
tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh.<!–[if !supportFootnotes]–>[5]<!–[endif]–> Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika
unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh
unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi
kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT.
Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah.
Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya
agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin
tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya
mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang
Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar
biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di
dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan,
tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia
unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan
bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.
Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an
Bila
dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak
belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan
bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih
rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah
keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.<!–[if !supportFootnotes]–>[6]<!–[endif]–>
Tentu
ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan
bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian
yang lain<!–[if !supportFootnotes]–>[7]<!–[endif]–>
menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena
ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa
dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti
Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total
ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk
purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi,
bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya
sudah punah?”
Yang
mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia
pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup
kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah
seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal
keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia
pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.<!–[if !supportFootnotes]–>[8]<!–[endif]–>
Penutup
Manusia
adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak
mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri
menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu
dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah
selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan
sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak
berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak
di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka
menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap
ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati
pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia
tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka,
merugilah ia.
Daftar Pustaka
Hafidhuddin, Didin K.H., Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000
Imani, Allamah. Kamal. Faqih, Tafsir nurur Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Tuhan, terj, R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, 2003
Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, terj, Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2002
Soenarjo, R.H.A, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989
——————, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
<!–[if !supportFootnotes]–>
<!–[endif]–>
<!–[endif]–>
<!–[if !supportFootnotes]–>[1]<!–[endif]–> Penciptaan/keberadaan manusia menurut al-Qu’an ini dapat dkategorikan menjadi tiga fase. Pertama,kemunculan
Adam manusia pertama. Penciptaan Adam sebagai manusia, dijelaskan dalam
al-Qur’an bahwa ia diciptakan dari semacam tanah liat. Dan atas
kehendak Allah maka jadilah Adam dalam rupa manusia. Manusia pertama
ini, hadir tanpa ibu dan bapak. Kemudian, kedua, diciptakannya
manusia kedua yaitu Hawa, yang disebutkan bahwa ia berasal dari tulang
rusuk kiri Adam. Manusia kedua ini hadir tanpa ibu. Ketiga, fase inilah yang menjadi gambaran umum manusia. Yaitu hadir dengan adanya bapak dan ibunya.
<!–[if !supportFootnotes]–>[2]<!–[endif]–>
Turunnya Adam menurut Alamah Kamal Faqih Imami sedikit banyak
diilustrasikan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 11-25. Alamah
Kamal Faqih Imami, Tafsir Nurul Qur’an, terj. R Hikmat
Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, jilid I, 2003, hal 156-171. Di dalam kitab
tafsirnya ini, beliau juga menafsirkan turunnya Adam dan Hawa adalah
sekenario Allah semata. Hal ini karena pada dasarnya Bapak Adam dan Ibu
Hawa (manusia) memang diciptakan untuk menghuni bumi—menjadi khalifah di
bumi. Dalam surat al-Baqarah ayat 30 disebutkan: “Ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….” Ini menjelaskan bahwa Allah sejak awal telah menetapkan bahwa manusialah yang akan menghuni bumi.
<!–[if !supportFootnotes]–>[3]<!–[endif]–>
Mengenai sujudnya Malaikat pada Adam ini, Alamah kamal Faqih Imani
menafsirkan sebagai sebuah sujud yang tidak dimaksudkan untuk beribadah
layaknya sujudnya para Malaikat pada Allah. Tetapi sujud ini adalah
sujud sebagai sebuah representasi penghormatan para Malaikat pada Adam. Ibid. Hal. 166.
<!–[if !supportFootnotes]–>[4]<!–[endif]–>
Berhubungan dengan hal ini, K.H Didin Hafidhuddin mengacu pada surat
al-Fatihah ayat 7 mengklasifikasikan manusia menjadi tiga, “ pertama;mereka golongan yang memperoleh nikmat. Kedua; golongan orang-orang yang dimurkai Allah. Ketiga:
golongan orang-orang sesat”. Golongan yang pertama memperlihatkan bahwa
pada dasarnya manusia mampu untuk mencapai derajat yang lebih baik, dan
bisa saja melampau derajat para malaikat. Sedangkan dua kelompok
berikutnya adalah golongan yang melupakan kebermanusiaan dalam manusia.”
K.H. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000. hal.204.
<!–[if !supportFootnotes]–>[5]<!–[endif]–> Ruh
atau jiwa di sini jangan diartikan sekedar nyawa, seperti yang dimiliki
hewan ataupun tumbuhan. Ruh atau jiwa ini dapat dikatakan sebagai
entitas yang memunculkan keberadaan “aku” dalam tubuh manusia. Karena
ruh atau jiwa inilah manusia dapat mengenali dirinya sendiri dan
membedakan dirinya dengan lainnya
<!–[if !supportFootnotes]–>[6]<!–[endif]–> Banyak
kalangan dari umat Islampun masih berbeda pendapat mengenai hal ini.
Apakah Adam yang dimaksud di sini adalah benar-benar manusia pertama,
ataukah ada Adam-Adam lain sebelumnya? Ini disandarkan pada alasan bahwa
jika Adam ini adalah manusia pertama, rentang waktu kehidupan manusia
pertama ini dengan manusia masa kini masihlah terlalu singkat yaitu
sekitar lima belas ribu tahun. Satu masa yang dapat dikatakan sedikit
dibandingkan umur bumi sendiri yang dikatakan sampai milyaran tahun.
Dengan argumen inilah beberapa kalangan muslimin menyatakan bahwa ada
Adam-Adam lain selain yang disebutan al-Qur’an. Dan mengenai keberadaan
Adam di surga, itu juga tidak surga dalam artian sebenarnya menurut
kalangan ini. Surga di sini menurut mereka adalah satu tempat di bumi
ini yang karena keindahannya dan kemudahannya dalam meraih sesuatu
digambarkan seperti surga. Tentu pendapat inipun mendapat sanggahan,
dengan argumen bahwa Adam yang disebutkan al-Qur’an ini memang
benar-benar manusia pertama yang menghuni bumi, dan ia benar-benar
diturunkan Allah dari surga, lagi-lagi itu karena kemaha Kuasaan Allah
SWT, dan apa yang tidak mungkin bagi Allah. Kalau menciptakan alam saja
mampu, kenapa harus diragukan ketika Allah menurunkan Adam ke bumi,
tentu bagi Allah itu bukan hal yang sulit. Perdebatan yang menarik, dan
memang sepertinya tak akan pernah selesai. Begitu menariknya makhluk
yang bernama manusia ini! (Penjelasan matakuliah ulumul Qur’an, Pak
Subandi)
<!–[if !supportFootnotes]–>[7]<!–[endif]–> Harun Yahya misalnya yang berjuang mati-matian untuk mengcover teori evolusi Darwin.
<!–[if !supportFootnotes]–>[8]<!–[endif]–>
Ada satu hal lagi berkaitan dengan dua pendapat di atas, yang mencoba
menjembatani perdebatan sengit itu. Meskipun tidak nampak begitu
berhasil, dan malah menjadi satu golongan tersendiri yang nampak
mendukung teori evolusi Darwin dengan menyatakan bahwa dari beberapa
aspek apa yang dikatakan oleh Darwin memang benar adanya. Bahwa manusia
memang berevolusi. Namun, sayangnya Darwin terlalu materialis dalam
melihat evolusi manusia, sehingga permata dalam diri manusia, jiwa,
terabaikan dinegasikan Darwin begitu saja. Dan pedapat para tokoh sufi
seperti Mulla Shadra, yang sering kali ditekankan Dr. Haidar Bagir dalam
tiap kali perbicangannya menyatakan bahwa manusia memang berevolusi,
bukan sekedar fisik saja, jiwanyapun berevolusi mencari kesejatian diri,
menuju Tuhan. Dan dalil al-Qur’an tentang Adam dan Hawa yang sering
ditafsirkan manusia pertama yang diturunkan dari Surga hanyalah
simbolitas saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar